Ilustrasi : Imam Setia P.
Author : (M.F)
Sejak kapan manusia makan nasi? Di perkirakan sejak 9000 tahun lalu, padi mulai di kembangkan dari sebuah wilayah di India ke Yunan Cina. Jadi, ketika nenek moyang bangsa indonesia datang dari sana 3000 tahun yang lalu, berkarung karung gabah beras telah tersedia dalam perahu mereka. Sekarang, berapa macam varietas padi di konsumsi manusia di berbagai penjuru dunia?
Kebudayaan padi atau rice culture sesungguhnya bukan monopoli bangsa bangsa Asia. Amerika Serikat sejak masih koloni Inggris pada abad 17, sudah terkenal sebagai eksportir beras. Waktu itu, dari Carolina saja terkirim 300 ton beras ke Inggris dan puluhan ton lagi ke kepulauan Hindia Barat. Sebaliknya, bangsa pemakan beras terbesar di dunia seperti kita, boleh di katakan kalang kabut menyiapkan periuk sendiri. Indonesia beruntung pernah punya presiden yang doktor dalam ilmu pertanian. Namun apa artinya bila pasukan nasi masih belum mencukupi, padi dan beras masih belum di hormati. Buktinya? Pola tanam, sistim panen, dan pola penyimpanan padi kita masih banyak borosnya.
Variasi beras dan produk olahannya pun kian terbatas. Mestinya beras tidak hanya di konsumsi sebagai nasi, tetapi juga sebagai makanan ringan dan berbagai jenis minuman baik minuman keras maupun minuman ringan. Dalam hal ini kita bisa mencontoh pengolahan nasi di Jepang. Mulai yang di kocok dengan telur, di bungkus dengan rumput laut (onogiri), di campur dengan daging (sembei), di jadikan kue beras (mochi), maupun minuman keras (sake).
Sebenarnya Indonesia memiliki ribuan jenis tanaman padi. Terlepas dari hasil silangan seperti IR 64, mamberamo, IR 66, ada bermacam jenis beras andalan seperti rojolele, beras solok, cianjur, delangu dan bali wangi. Dilihat dari varietas dan cara tanamnya pun kita juga mengenal padi gogo, padi laut, dan padi hutan. Mencengangkan memang, bahkan kawasan UNSOED Grendeng pun dahulu sempat memiliki sub varietas padi yang namanya beras grendeng. Terkenal karena kepulenan dan harum, sesuai dengan selera mayoritas orang di pulau Jawa. Yang lebih hebat, menurut tetua desa Grendeng dan Karangwangkal beras Grendeng pernah menjadi favorit Istana Merdeka. Permasalahannya sekarang adalah kemana perginya Varietas tersebut? Sangat miris keadaan tersebut, Fakultas Biologi UNSOED yang dalam visi misinya mencantumkan frasa “Menjadikan Fakultas Biologi sebagai pusat pengembangan biologi spesies indigenus yang mampu memecahkan permasalahan masyarakat dan lingkungan pedesaan secara berkelanjutan” telah gagal dalam mengonservasi salah satu bentuk spesies indigeneous lokal. Sebuah ironi yang menusuk ketika UNSOED kemudian berkehendak menjadi World Class Civic University.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menghakimi siapaun atas local extinction tersebut. Mari kita sedikit berefleksi dan berdialektika dengan fakta fakta yang tercecer terkait padi, beras, dan orang orang yang terus memperjuangkanya. Agar nantinya bangsa kita tidak di tuduh sebagai bangsa yang menistakan aspek pangan oleh anak cucu kita ataupun oleh bangsa lain.